Thursday, 11 April 2013

Sidang Pelanggar Tilang menurut Undang - Undang

Saya ditilang karena melanggar marka dan diberi surat merah oleh polisi. Karena pada tanggal sidang saya tidak bisa hadir, tidak ada yang mewakili, dan ditilang di kota yang berjarak agak jauh dari tempat tinggal, maka kata pak polisi kalau tidak bisa hadir dan tidak ada yang mewakilkan bisa diambil di Kejaksaan. Apakah ada denda tambahan jika mengambilnya di kejaksaan? ade arizki

Jawaban:
 Oleh: TRI JATA AYU


Sebelum kami menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan menguraikan hal-hal berikut ini:
Pasal 267 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) berbunyi:
(1) Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan
(2) Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar
(3) Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah
(4) Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(5) Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, UU LLAJ sebenarnya memungkinkan pelanggar untuk tidak hadir dalam acara pemeriksaan di pengadilan. Denda titipan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 267 ayat (3) UU LLAJmerupakan salah satu opsi penyelesaian pelanggaran lalu lintas untuk pelanggar yang tidak dapat hadir pada sidang.
Dalam hal pelanggar tidak dapat hadir ke sidang, maka pelanggar dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah (lihat Pasal 267 ayat [3] UU LLAJ), dan bukti penitipan denda tersebut kemudian dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran (lihat Pasal 267 ayat [5] UU LLAJ).
Terkait dengan pertanyaan Anda apakah ada denda tambahan jika mengambil surat-surat kendaraan (alat bukti) di Kejaksaan, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 267 ayat (4) UU 22/2009 yang menyebutkan bahwa jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada Pasal 267 ayat (3) adalah sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dengan demikian, jika Anda melanggar marka atau rambu lalu lintas sanksinya diatur dalam Pasal 287 ayat (1) UU LLAJ, yang berbunyi:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).”
Jadi, untuk pelanggaran rambu lalu lintas denda maksimalnya adalah Rp500 ribu.
Sedangkan, alat bukti dan surat tilang yang ditandatangani oleh Petugas Kepolisian Negara RI dan Pelanggar hanya digunakan untuk kepentingan Kejaksaan saja, bukan untuk dimintakan denda tambahan. Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”).
Selain itu, tata cara mengenai pengembalian Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, Tanda Bukti Lulus Uji, dan Izin Penyelenggaraan Angkutan Umum yang disita telah diatur dalam Pasal 36 PP 80/2012 yang berbunyi:
(1) Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, Tanda Bukti Lulus Uji, dan Izin Penyelenggaraan Angkutan Umum yang disita dikembalikan kepada pengemudi atau pemilik setelah:
a.    penyerahan surat bukti penitipan uang titipan untuk membayar denda kepada jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan
b.    membayar denda sesuai dengan putusan pengadilan; dan/atau
c.    memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan yang dilanggar
(2) Kendaraan Bermotor yang disita karena tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan yang sah dikembalikan kepada pemilik setelah menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan yang sah.
(3) Penyitaan Kendaraan Bermotor karena diduga berasal dari hasil tindak pidana, digunakan untuk melakukan tindak pidana, atau terlibat kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggalnya orang atau luka berat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, sebenarnya jika Anda telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 36 ayat (1) di atas, maka seluruh alat-alat bukti yang disita oleh petugas kepolisian RI dapat dikembalikan lagi kepada Anda.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.    Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
2.    Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

source:  http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5162f8f4af5e3/opsi-bagi-pelanggar-yang-tidak-bisa-hadiri-sidang-tilang

Wednesday, 10 April 2013

Pembuktian Penghinaan Lewat Facebook, Perlukah Keterangan Ahli?

Apakah penghinaan melalui facebook bisa diproses dengan dengan Pasal 310 KUHP saja? Sebab jika menggunakan pasal yang ada UU ITE, terlalu repot dan banyak makan biaya karena harus memeriksa saksi ahli ITE, terima kasih.
juned doang
 
 Jawaban:
Oleh: Teguh Arifiyadi, S.H., M.H.
 
Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) pada dasarnya merupakan bentuk lain atau perluasan dari delik penghinaan dalam Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya yang berkaitan dengan penghinaan dengan penggunaan sarana elektronik. Namun demikian, menurut pendapat kami, Pasal 310 KUHP tetap dapat digunakan sebagai dasar atas delik penghinaan karena sifatnya yang generalis. Penerapannya pun selain dapat berdiri sendiri juga dapat dikumulasikan dengan pasal penghinaan dalam UU ITE, sehingga dapat diterapkan pada segala macam bentuk penghinaan baik bersifat konvensional maupun yang menggunakan sarana elektronik.
 
Perbedaan mendasar adalah pada ketentuan sanksi pidananya. Sanksi pidana dalam Pasal 310 KUHP adalah pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500,-. Sedangkan, sanksi pidana Pasal 27 ayat (3) lebih berat yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (lihat Pasal 45 UU ITE).
 
Perlu kami sampaikan, dalam proses penyidikan dan penuntutan, penerapan beberapa unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE maupun penerapan Pasal 310 KUHP secara materiil pada prinispnya adalah sama. Keduanya harus dibuktikan dengan adanya “unsur muatan penghinaan” dan “unsur kesengajaan”. Unsur yang dianggap tidak mudah untuk dibuktikan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi/Dokumen Elektronik. Pembuktian unsur tersebut yang seringkali tidak dapat dilakukan sendiri oleh penyidik. Kesulitan lain dalam penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sering terjadi pada saat pembuktian terhadap kebenaran/integritas perangkat sistem elektronik atau informasi/dokumen elektronik yang menjadi barang bukti (baik sebagai alat maupun sarana) perbuatan pidana. Untuk membuktikan hal tersebut, dibutuhkan pengetahuan yang baik dari penyidik terhadap teknologi informasi.
 
Keterangan Ahli ITE
Sebelumnya, perlu kami sampaikan bahwa istilah yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan adalah ahli dan keterangan ahli, bukan istilah saksi ahli seperti yang Anda gunakan. Penjelasan selengkapnya silakan simak artikel Klinik hukumonline: Bolehkah Menolak Panggilan Sebagai Ahli dalam Persidangan?
 
Ahli bidang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa berupa ahli hukum UU ITE dan ahli teknis terkait ITE. Penggunaan ahli ITE, menurut pendapat kami, seharusnya tidak selalu diperlukan dalam kasus pidana yang berhubungan dengan teknologi informasi. Sepanjang kewajiban pembuktian lain telah cukup/terpenuhi, seharusnya ahli ITE tidak diperlukan lagi. Terkecuali dalam hal penyidik maupun penuntut umum merasa rancu atau bingung dalam menafsirkan pasal-pasal dalam UU ITE atau tidak cukup keyakinan untuk memahami/menilai bukti digital, maka keterangan dari ahli ITE (ahli hukum/ahli forensik digital) mutlak diperlukan. Menurut persepsi kami, jika hakim dapat memutus delik penghinaan secara konvensional tanpa perlu keterangan seorang ahli, maka semestinya hakim juga dapat memiliki keyakinan yang memadai untuk memutus delik penghinaan dengan sarana elektronik tanpa harus adanya keterangan seorang ahli. Karena banyak hal-hal yang bersifat umum dalam pemanfaatan teknologi informasi yang menurut pendapat kami tidak memerlukan keahlian khusus untuk memahaminya (misalnya penggunaan SMS, jejaring sosial, dll.).
 
Hal tersebut juga sesuai Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mana penggunaan keterangan ahli tidak bersifat wajib atau hanya jika dianggap perlu oleh penyidik. Bunyi Pasal 120 KUHAP adalah sebagai berikut:
 
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”
 
Demikian pendapat kami, semoga bermanfaat.
 
Terima kasih.
 
Dasar Hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

source: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt512daa708351f/pembuktian-penghinaan-lewat-facebook,-perlukah-keterangan-ahli?